Langsung ke konten utama

Meminta Perhatian dengan Menyindir Orang Lain adalah Otoriter Halus

Lo pernah nggak, niatnya mau peduli sama orang lain, eh malah jadi males gara-gara ada yang nyindir-nyindir lewat status? Gue baru ngalamin, dan jujur… bikin mikir juga sih.

Gue termasuk orang yang kalau ngomong ya jujur aja, nggak suka basa-basi. Kalau lagi kesusahan pun, gue lebih milih jalanin sendiri tanpa harus bikin status supaya orang lain notice. Misalnya gue pernah ngalamin kondisi paling sulit: nggak ada uang buat makan sehari-hari atau bahkan kesusahan cari tumpangan buat jalan. Karena gue hidup mandiri dan statusnya buruh, ya mau nggak mau gue harus ngandalin gaji bulanan buat bertahan.

Tapi meski begitu, gue jarang bahkan hampir nggak pernah ngumbar kesulitan itu ke media sosial. Kalau pun gue bikin status atau upload sesuatu, biasanya bukan tentang susahnya hidup, tapi lebih ke kerja keras atau usaha gue. Buat gue, itu semacam pengingat dan cambuk motivasi. Gue rasa, nggak ada gunanya bikin orang lain tahu penderitaan lo cuma biar dikasihani.

Contohnya gini. Suatu hari lo lagi sakit, nggak ada satu pun yang nengokin. Pasti ada rasa sedih. Di momen itu, gampang banget rasanya pengen bikin status WA kayak, “Giliran gue sakit nggak ada yang peduli, giliran seneng malah rame banget yang sok perhatian.” Tapi gue pribadi nggak mau sampai ke situ. Karena sindiran kayak gitu biasanya malah bikin orang antipati.

Alih-alih kena ke target tertentu, justru orang lain yang nggak ada hubungannya ikut tersinggung. Akhirnya, bukannya bikin orang tambah peduli, malah bikin mereka males. Gue pernah ngalamin sendiri. Ada orang yang awalnya bikin gue empati, tapi begitu dia nyindir-nyindir di status, perasaan gue berubah total. Dari peduli jadi masa bodoh.

Kenapa Orang Suka Sindir Halus di Media Sosial?
Riset kecil gue nunjukin beberapa alasan kuat kenapa pola komunikasi itu sering muncul. Intinya: bukan sekadar drama, tapi ada motivasi psikologis juga. Begini nih hasil galiannya.
  1. Dry Begging = Nyindir Malah Ngerasa Peduli
    Ada istilah di psikologi: dry begging. Ini cara pasif-agrresif buat cari perhatian atau simpati tanpa bilang langsung apa yang lo butuh. Misalnya, orang ngomong soal mobil mogok, padahal maksudnya pengen diajakin tumpangan. Menurut Dr. Sabrina Romanoff dan Claudia de Llano, sindiran semacam ini rawan bikin bingung dan bahkan nyiptain rasa benci, bukan empati Verywell Mind.

  2. Sadfishing = Pamer Kesedihan Buat Dikasihani
    Dalam riset disebut juga istilah sadfishing, di mana seseorang posting masalah pribadi dengan tujuan utama mendapat simpati atau perhatian. Ini beda dengan curhat biasa—sadfishing memang dirancang untuk memancing simpati sosial. Studi menunjukkan ini makin banyak terjadi di kalangan anak muda yang merasa kurang dukungan sosial BioMed Central Wikipedia.

  3. Efek Dopamin dan Validasi Sosial
    Di balik semua postingan itu, otak kita sebenarnya lagi dibikin ketagihan sama “like”, komentar, atau share. Setiap respons itu bikin hormon dopamin terpicu, menciptakan perasaan senang dan memperkuat keinginan kita untuk posting lagi. Apalagi kalau postingan kita memancing emosi baik marah, sedih, atau terkejut, reaksi itu biasanya lebih tinggi Qualia Academy

  4. Media Sosial sebagai Zona Aman untuk Sindiran
    Sering kali orang takut konfrontasi. Media sosial berfungsi sebagai tempat yang “aman” untuk sindir tanpa harus menatap langsung wajah orang. Namun dengan cara itu, yang seharusnya hanya “pesan ke satu orang” malah jadi konsumsi publik. Ini memicu rasa enggan konflik tapi tetap ingin ngeraih perhatian ONBOARD Magazine.

  5. Pasif-Aggresif vs Terbuka (Otak Pilih yang Mana?)
    Sebagian orang nyaman menyimpan marah atau kecewa lalu menyalurkannya lewat cara halus, bukan langsung konfrontasi. Perilaku ini disebut pasif-agresif. Meski gampang dan terasa aman, dalam jangka panjang ini malah merusak hubungan karena orang lain jadi bingung dengan maksud lo asli apa Psychology Today  Wikipedia.

  6. Kebutuhan Validasi vs Harga Diri Asli
    Ada kebutuhan psikologis mendasar untuk diterima dan diakui. Tapi kalau kita terlalu tergantung validasi online buat merasa berarti, malah bikin identitas asli kita makin rapuh. Ini bagian dari teori “looking-glass self,” di mana citra diri tergantung dari cermin yang diberikan oleh orang lain secara online Wikipedia.
Ringkasan Kenapa Orang Suka Sindir Halus
Pengalaman

Gue pernah punya pengalaman, ada temen sakit. Dia nggak ngomong langsung, tapi cuma update story WA. Gue liat statusnya, terus kepikiran buat ucapin semoga cepet sembuh, bahkan niat nengokin. Tapi belum sempet gue gerak, muncul lagi status dia yang lebih menusuk, isinya begini: “Tetap semangat dan jangan pedulikan orang-orang yang tidak peduli.”

Lah, gue langsung mikir: ini maksudnya siapa? Buat gue kah? Atau buat orang lain? Kok kayak nembak di udara tapi pengen kena sasaran. Di kepala gue malah jadi liar: apa circle dia cuma segitu aja sampai harus bikin status WA buat nyindir? Atau jangan-jangan memang haus perhatian, caper, dan mentalnya rapuh?

Gue jadi sadar, betapa sering orang nyalurin keresahan personalnya ke ruang publik yang sempit kayak story WA, seakan-akan semua orang harus paham kode-kode itu. Padahal, kalau dipikir, yang mereka tunjuk justru bikin orang mikir negatif.

Situasi ini sangat relevan dengan analisis di bagian sebelumnya. Pertama, ada kebutuhan untuk mendapatkan perhatian yang tidak terpuaskan. Alih-alih meminta secara langsung, orang tersebut menggunakan sindiran yang ambigu. Kedua, perilaku ini menggambarkan bentuk kontrol sosial dalam lingkup kecil. Dia menempatkan orang-orang dalam posisinya masing-masing: ada yang dianggap peduli, ada yang dituduh tidak peduli. Padahal yang menilai cuma dia seorang, berdasarkan interpretasi yang bisa saja keliru.

Kalau kita tarik lebih dalam, pola ini juga memperlihatkan keterbatasan circle atau jaringan sosial. Semakin kecil lingkarannya, semakin besar kemungkinan sindiran itu jatuh ke satu atau dua orang saja. Efeknya jadi personal, walaupun dibungkus gaya “umum.” Di sini lah tampak sifat otoriter halus itu. Dia tidak bilang langsung, tapi lewat cara licik: bikin orang lain merasa bersalah, bikin orang menebak-nebak, dan akhirnya bikin suasana tidak sehat.

Kasus ini bisa jadi gambaran bahwa sindiran untuk mencari perhatian bukan hanya tentang “aku ingin dilihat” tapi juga “aku ingin menentukan siapa yang baik dan siapa yang buruk.” Itulah inti sikap otoriter halus yang sudah kita singgung sebelumnya.

Solusi dan Jalan Tengah

Kita nggak bisa mengontrol orang lain yang suka cari perhatian lewat status, tapi kita bisa mengontrol cara kita merespons. Kalau memang ada teman yang bikin status begitu, ada dua pilihan sehat: abaikan tanpa baper atau tanggapi seperlunya tanpa terjebak drama. Jangan sampai energi kita terkuras buat mikirin kode-kode nggak jelas.

Di sisi lain, kalau kita yang merasa butuh perhatian, cobalah jujur dan terbuka. Nggak semua orang bisa membaca kode lewat status WhatsApp. Kadang cara paling sederhana adalah ngomong langsung ke teman, “gue lagi nggak enak badan, tolong doain atau temenin.” Itu jauh lebih sehat ketimbang berharap orang paham lewat story.

Dari sudut pandang psikologi, perilaku caper ini sering terkait dengan rendahnya rasa percaya diri dan butuh validasi eksternal (lihat juga kajian self-determination theory dari Deci & Ryan yang menekankan pentingnya kebutuhan dasar manusia akan keterhubungan sosial). Jadi, buat yang ngerasa sering bikin status semacam itu, penting juga untuk membangun sumber rasa percaya diri dari dalam, bukan sekadar dari reaksi orang lain.

Dan terakhir, buat pembaca blog, poin pentingnya adalah jangan buru-buru nge-judge. Kadang orang bikin status lebay karena memang nggak punya ruang aman buat cerita. Kalau kita bisa, jadilah teman yang siap mendengar tanpa harus jadi korban drama. Kalau nggak, batasin interaksi biar kesehatan mental sendiri nggak ikut terganggu.

Pada akhirnya, kita hidup di zaman di mana status WhatsApp bisa terasa lebih keras daripada tamparan, dan perhatian diukur dari jumlah views, bukan lagi dari kehadiran nyata. Tapi, apakah kita mau terus terjebak di lingkaran ini. Deci dan Ryan sudah lama mengingatkan bahwa manusia akan lebih sehat secara mental kalau bisa memenuhi kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan dengan cara yang otentik, bukan semu. Jadi, mungkin saatnya berhenti jadi budak validasi layar, dan mulai jadi manusia yang utuh. Kalau ada yang benar benar peduli, ia tidak perlu update status berkode. Kalau ada yang sungguh tulus, ia akan mengetuk pintu atau sekadar menelpon. Dunia digital memang bising, tapi kita tetap bisa memilih untuk membangun relasi yang senyap tapi nyata.


Rekomendasi buku - buku yang berkaitan dengan artikel diatas dapat anda beli di link berikut :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca Karakteristik Seseorang dari Sebuah Foto

Membaca Karakteristik Seseorang dari Sebuah Foto Karakter manusia adalah salah satu aspek paling kompleks dari keberadaan kita. Karakter dibentuk oleh berbagai faktor termasuk genetik, lingkungan, pengalaman hidup, dan interaksi sosial. Mempelajari karakter seseorang bisa menjadi tantangan, namun sering kali kita bisa mendapatkan wawasan tentang karakter seseorang melalui observasi visual, seperti dari sebuah foto. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana membaca karakteristik seseorang dari sebuah foto dan apa yang bisa kita pelajari dari ekspresi, postur, dan elemen-elemen lain dalam gambar. Pemahaman Dasar tentang Karakter Manusia Karakter manusia mencakup serangkaian sifat yang menentukan bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Sifat-sifat ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori, seperti: Sifat Ekstrovert vs Introvert. Sejauh mana seseorang mendapat energi dari interaksi sosial atau dari waktu sendiri. Sifat Tertutup vs Terbuka.  Kecenderungan untuk ...

Bimbingan Organisasi RAPI

Bimbingan Organisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh RAPI dalam upaya pembinaan dan pengembangan organisasi untuk penerimaan anggota baru, yang merupakan syarat utama untuk menjadi Anggota RAPI. Pengurus RAPI Provinsi bertanggung jawab atas kegiatan ini dan mengeluarkan Sertifikat Bimbingan Organisasi. Pengurus RAPI Kabupaten bertindak sebagai pelaksana kegiatan Bimbingan Organisasi. Sertifikat Bimbingan Organisasi diberikan kepada peserta yang mengikuti kegiatan ini, ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris RAPI Provinsi, dan sertifikat ini bukan satu satunya yang merupakan bukti keanggotaan RAPI. Maksud dan Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Bimbingan Organisasi adalah memberikan pembinaan kepada Calon Anggota Baru dan Anggota RAPI yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut, agar mereka dapat lebih memahami Kegiatan, Tata Cara, dan Peraturan berkomunikasi sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART RAPI). Hal ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada ...