Sidang Majelis Umum PBB 2025 seolah jadi panggung yang biasa diwarnai pidato diplomatis penuh basa-basi. Para pemimpin dunia naik ke podium dengan wajah tenang, melempar jargon perdamaian, melukis janji-janji manis, lalu turun lagi untuk melanjutkan transaksi politik dan ekonomi yang justru memperpanjang penderitaan rakyat. Seringkali, panggung itu hanyalah etalase kepalsuan global.
Namun, kali ini ada satu suara yang benar-benar berbeda. Gustavo Petro, Presiden Kolombia, tampil bukan sebagai diplomat yang sekadar menghibur kamera, melainkan sebagai macan Latin yang mengaum di hadapan elit dunia. Ia menelanjangi kerakusan negara-negara industri, mengutuk kapitalisme hijau yang hanya kedok untuk melanjutkan eksploitasi, dan menyorot hipokrisi negara-negara kaya yang pura-pura peduli perdamaian. Petro tidak datang untuk menjual citra. Ia datang dengan keberanian yang jujur: suara Selatan Global yang menolak tunduk.
Che Guevara pernah mengatakan bahwa kemurkaan terhadap ketidakadilan adalah bahan bakar revolusi. Apa yang dilakukan Petro adalah mewujudkan kutipan itu dalam bentuk politik nyata. Bukan kemarahan kosong, melainkan amarah yang diolah menjadi strategi. Dalam kaca mata anarkisme, kita tahu negara kerap menjadi alat kapitalisme, instrumen otoritarianisme yang mengatur rakyat agar jinak. Petro memang tidak sedang mengumandangkan revolusi ala Che, tetapi ia menyingkapkan wajah asli tatanan dunia: sebuah sistem global yang dikuasai segelintir elit, dengan miliaran manusia di Selatan sebagai korban permanen.
Refleksi ini seharusnya mengetuk kesadaran orang Indonesia. Tapi apa yang sering terdengar? Kalimat nyinyir: “Ngurus Indonesia aja belum selesai, kok repot ngomongin dunia?” Sekilas terdengar logis, padahal itu justru cermin dari mental yang sudah tersihir sistem. Kita sudah begitu terbiasa hidup dalam kubangan ketidakadilan sehingga wajar saja jika suara lantang dari luar dianggap asing. Sistem korporasi dan negara telah menghipnotis kita lewat rutinitas: kerja lembur, kejar cicilan, hidup dari gaji ke gaji. Semua itu dinormalisasi. Lama-lama, kita percaya bahwa diam adalah kewajaran, pasrah adalah kebijaksanaan, dan tunduk adalah takdir.
Padahal, jika ditarik secara holistik, isu global dan lokal tidak bisa dipisahkan. Krisis iklim, eksploitasi sumber daya, bahkan politik upah murah, semuanya terhubung dengan struktur kapitalisme internasional. Ketika Petro bicara di PBB, ia sebenarnya sedang membongkar hubungan sistemik itu. Ia bicara untuk rakyat Kolombia, tapi juga untuk buruh di Jakarta, petani di Filipina, nelayan di Francis, hingga anak muda di Bogor. Inilah yang disebut pendekatan menyeluruh: melihat dunia bukan sebagai pulau-pulau terpisah, melainkan sebagai satu jaring ketidakadilan yang sama.
Ironisnya, inspirasi itu datang dari Bogotá, bukan dari Jakarta. Dari Petro, bukan dari pejabat kita sendiri. Para elit kita lebih sibuk membangun panggung drama nasionalis, gebrak meja demi kamera, atau pura-pura peduli rakyat demi suara di pemilu. Mereka jarang benar-benar berani bicara jujur di forum dunia. Dan lebih menyakitkan lagi, rakyat kita sudah terbiasa menelan semua itu, seolah-olah wajar punya pemimpin yang lebih pandai bersandiwara daripada berani berkata benar.
Hari itu di PBB, dunia mendengar seekor macan Latin mengaum. Dan gema auman itu bukan hanya untuk Kolombia. Ia juga seharusnya mengguncang kesadaran kita di Indonesia: bahwa ketidakadilan bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan, dan keberanian bicara adalah langkah awal untuk meruntuhkan hipnotis yang selama ini membelenggu kita.
Seperti kata Che, revolusi bukanlah apel yang jatuh ketika matang. Kita harus membuatnya jatuh. Petro menunjukkan bahwa bahkan di panggung yang penuh kepalsuan sekalipun, suara perlawanan tetap bisa mengguncang. Pertanyaannya: apakah kita akan terus jadi penonton pasrah, atau berani mengambil inspirasi itu untuk melawan kebisuan yang sudah terlalu lama kita wariskan?
CERITA REFLEKTIF
Di satu tongkrongan malam minggu, ada segerombol anak muda yang selalu pamer hidupnya. Ada yang sibuk update story ngopi di kafe mahal, ada yang pake sepatu edisi terbatas, ada juga yang bangga cerita kerja di korporasi dengan gaji “lumayan” sambil bilang: “Gue tuh beda, kerja gue kelas elite, bukan buruh biasa.”
Padahal, tiap pagi dia tetap harus bangun pagi, macet-macetan di jalan, lembur sampai lupa waktu, bahkan liburnya sering dipotong. Bedanya apa? Hanya seragamnya doang lebih rapi, dan kantornya pakai AC. Sisanya tetap sama: dijerat sistem kerja upahan yang bikin energi habis demi bos besar dan pemilik modal. Tapi di tongkrongan itu, gengsi jauh lebih penting ketimbang kesadaran.
Kalau kita tarik ke pidato Petro di PBB, yang dia tekankan soal keadilan global dan ketidakadilan sistemik, sebenarnya mirip dengan kondisi tongkrongan tadi. Kita hidup dalam hipnotis bawah sadar yang menormalisasi kebusukan sistem: korporasi dianggap jalan menuju prestis, padahal cuma topeng dari eksploitasi. Sama seperti negara-negara besar yang pura-pura peduli krisis global, padahal di baliknya ada kepentingan kapitalisme dan perang dagang.
Refleksi ini keras buat kita di Indonesia. Karena seringkali kalau ada orang ngomong soal Palestina, krisis global, atau isu internasional, langsung dicibir: “Ngurus Indonesia aja belum selesai.” Padahal justru di situlah jebakannya. Orang dibuat sibuk dengan nasionalisme sempit, sementara lupa kalau penderitaan manusia di belahan bumi lain punya keterkaitan dengan hidup kita juga.
Dan inilah pendekatan anarkisme yang sering dilupakan: menolak otoritarianisme yang membelah kita jadi negara demi negara, dan justru melihat dunia secara holistik, sebagai satu kesatuan manusia. Kalau kita diam, kita ikut jadi bagian dari hipnotis massal yang membiarkan sistem busuk terus berjalan.
ANARKISME DAN CHE GUEVARA
Anarkisme sering disalahpahami seakan-akan identik dengan kekacauan, kerusuhan, dan brutalitas. Padahal inti dari anarkisme justru kebebasan yang teratur. Kebebasan yang lahir bukan dari aturan besi penguasa, tapi dari kesadaran tiap individu untuk saling menjaga, saling menguatkan, dan saling menghormati. Itu sebabnya anarkisme bukan tentang "tidak ada aturan," melainkan tentang menolak aturan yang menindas. Dalam dunia yang sehat, manusia nggak butuh cambuk otoritas untuk berlaku adil, cukup dengan kesadaran dan solidaritas.
Kalau dibandingkan dengan kondisi hari ini, di mana sistem negara dan korporasi dipuja sebagai penyelamat, anarkisme terasa seperti oasis yang segar. Ia mengingatkan bahwa kebebasan sejati tidak datang dari gaji besar, jabatan tinggi, atau tepuk tangan negara. Kebebasan sejati adalah ketika kita bisa hidup bermartabat tanpa ditindas oleh struktur yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Dan kalau ngomong soal revolusi, nama Che Guevara selalu muncul di benak gue. Dia bukan sekadar poster keren di kamar anak muda atau ikon di kaos. Che adalah simbol keberanian yang melampaui kata-kata. Dia hidup di garis depan revolusi, bukan cuma di balik meja rapat atau mimbar politik. Baginya, revolusi bukan sekadar wacana, tapi pilihan hidup yang penuh risiko: meninggalkan kenyamanan, menolak kompromi, dan siap mati untuk kebebasan.
Itulah kenapa Che jadi idola gue soal revolusi yang nyata. Bukan revolusi gimmick, bukan revolusi yang hanya gebrak meja untuk pencitraan. Tapi revolusi yang mengalir dari kesadaran, keberanian, dan cinta pada manusia. Sama seperti Petro yang di PBB bisa bicara lantang tanpa perlu gimmick, karena keberanian lahir dari kebenaran yang diyakini.
SEJARAH KOLOMBIA DAN BAYANGAN CHE
Kolombia bukan negeri yang lahir dari ruang kosong. Ia berdiri di atas tanah yang penuh paradoks: kaya sumber daya, tapi rakyatnya lama digeret ke dalam lingkaran kekerasan, narkotika, dan dominasi oligarki. Dari tahun 1960-an, Kolombia dikenal dengan konflik panjang antara negara, paramiliter, dan kelompok gerilya bersenjata seperti FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia). Perang saudara berkepanjangan itu bukan sekadar “konflik dalam negeri,” tapi bagian dari peta besar geopolitik Amerika Latin. Negeri ini dijadikan laboratorium oleh kekuatan global—mulai dari intervensi militer Amerika Serikat hingga cengkeraman kartel narkoba yang lahir dari pasar dunia.
Lalu hadir Gustavo Petro. Latar belakangnya bukan politikus salon, tapi bekas anggota gerakan gerilya M-19. Ia pernah mengalami langsung represi negara dan hidup di bawah stigma. Namun berbeda dengan stereotip yang ditempelkan pada gerilyawan, Petro justru membawa visi baru: menantang kapitalisme ekstraktif, menolak kolonialisme modern, dan bicara soal krisis iklim sebagai ancaman nyata bagi Amerika Latin. Dengan kata lain, suaranya lahir dari luka sejarah, bukan sekadar retorika diplomatik.
Di titik ini, bayangan Che Guevara terasa dekat. Che melihat Amerika Latin bukan sekadar benua, tapi satu tubuh dengan luka yang sama: penindasan kolonial, intervensi asing, dan ketidakadilan kelas. Dari Kuba hingga Bolivia, Che berusaha menyalakan api revolusi lintas batas. Bedanya, Che memilih jalur perang gerilya bersenjata, sedangkan Petro mencoba jalur demokrasi elektoral. Tetapi intinya sama: menolak tunduk pada tatanan global yang menjadikan Amerika Latin sebagai halaman belakang kekuatan besar.
Buat orang Indonesia, kisah Kolombia bisa jadi kaca. Di sini pun kita punya sejarah panjang dijadikan “pasar” dan “ladang” oleh kepentingan asing. Bedanya, kita sering lupa bahwa luka itu masih menganga. Kita sibuk dicekoki drama politik, gengsi sosial, dan gaya hidup korporat, sementara kolonialisme gaya baru merajalela dalam bentuk utang, investasi ekstraktif, dan impor budaya konsumerisme.
Che pernah menulis, “I am not a liberator. Liberators do not exist. The people liberate themselves.” Kalimat ini relevan dengan Kolombia dan juga dengan kita. Petro mungkin simbol keberanian, Che simbol revolusi, tapi sejatinya pembebasan nggak datang dari figur siapa pun. Jika melihat sejarahnya pembebasan lahir ketika rakyat berani melawan—entah lewat senjata, suara, atau solidaritas lintas bangsa.
Komentar
Posting Komentar