ESSAY
Di Meja yang Sama: Tentang Bola, Perempuan, dan Rasa Hormat
Saya juga nggak tahu sejak kapan pertama kali pernah main biliar bareng perempuan.
Awalnya cuma ajakan santai. Lama-lama jadi semacam ruang pelarian.
Mungkin karena penat. Mungkin karena butuh waktu buat diri sendiri.
Atau mungkin karena di meja hijau atau merah atau juga biru itu, hidup terasa lebih masuk akal.
Kami datang dari mana-mana.
Ada yang habis kerja kantor, ada yang freelance, ada yang... ya begitulah, kerja tapi nggak jelas kantornya di mana.
Tapi begitu stik mulai dipegang, semua lepas.
Nggak ada urusan jabatan. Nggak ada soal siapa lebih tua.
Yang dihargai cuma satu: siapa yang bisa baca arah dan tahu kapan harus tenang.
Laki-laki dan perempuan main bareng, belajar bareng, bahkan saling ngalahin—bukan dalam hal ego, tapi dalam strategi dan feeling.
Dan dari situ setelah sekian lama saya pelan-pelan sadar:
Perempuan itu nggak pernah kekurangan ruang.
Yang sering kurang, justru laki-laki yang terkadang gak rela bagi ruang.
Teman-teman perempuan saya datang bukan buat buktiin apa-apa.
Mereka datang karena memang bisa.
Dan kami, laki-laki, toh nggak kehilangan apa-apa dari kehadiran mereka.
Nggak ada harga diri yang jatuh cuma karena kalah satu game.
Bermain dan Bertahan
Main biliar itu kelihatannya cuma soal mukul bola.
Padahal sebenarnya soal mikir ke depan.
Kamu nggak bisa asal gebuk.
Harus tahu bola selanjutnya bakal ke mana, peluangnya gimana,
dan gimana caranya biar bola putih nggak masuk juga.
Sama seperti perempuan.
Hidup mereka itu serba mikir langkah ke depan.
Kalau keluar malam, orang ngomong.
Kalau bilang “nggak”, dibilang songong.
Kalau jujur, dianggap kasar.
Dan meskipun begitu, mereka tetap jalan.
Tetap kerja, tetap mikir, tetap ngelawan dalam diam.
Tetap punya gaya main sendiri.
Nggak buru-buru. Tapi juga nggak mundur.
Tekanan yang Jarang Dilihat
kerja, ngurus rumah, jaga tutur, jaga sikap, dan tetap harus senyum.
Bahkan di dalam keluarganya sendiri, nggak semua perempuan merasa aman.
Ada yang nggak bisa bilang "lelah" karena takut dibilang nggak bersyukur.
Ada yang pengin sendiri, malah dianggap keras kepala.
Ada juga yang nggak nikah-nikah, langsung dapat cap “pilih-pilih”.
Padahal mungkin, mereka cuma ingin hidup damai.
Bukan jadi proyek sosial keluarga.
Bukan jadi obrolan tiap lebaran.
Yang berhijab dibilang fanatik.
Yang nggak berhijab dibilang bebasan.
Yang banyak bicara dibilang cerewet.
Yang diam dibilang nggak punya sikap.
Kayak apa pun mereka, selalu aja dianggap “kurang”.
Feminin Nggak Harus Lembut
“Lho, cewek kok main biliar? Mana femininnya?”
Dan saya jadi mikir,
kenapa sih feminin selalu dikaitin sama cara bicara pelan dan warna baju pastel atau cuma pake anting dan emas di jarinya?
Teman-teman saya yang perempuan main biliar sambil bahas politik kampus, bahas pekerjaan, bahkan bahas hidup.
Ada yang pakai celana longgar, hoodie belel, rambut diikat asal-asalan tapi tetap kelihatan keren.
Mereka bisa ngatur strategi, bisa ngatur arah bola, bisa menang tanpa merasa harus minta maaf.
Feminin itu bukan bentuk tubuh.
Bukan juga gaya bicara.
Feminin itu keberanian buat jadi diri sendiri,
meskipun nggak sesuai ekspektasi siapa-siapa.
Komentar dari Dunia yang Masih Feodal
QS
Kita hidup di masyarakat yang sibuk ngatur hidup orang,
tapi lupa ngaca ke hidup sendiri.
Perempuan sedikit keras, langsung dibilang galak.
Terlalu kalem, dibilang nggak punya sikap.
Pintar, dibilang nyebelin.
Diam, dibilang bego.
Semua serba salah, karena yang dipakai ngukur bukan empati tapi tradisi.
Dan yang parah, banyak orang masih percaya hierarki gender itu “kodrat”,
padahal cuma warisan pikiran dari masa di mana perempuan cuma boleh duduk manis.
Feodalisme bukan cuma soal jabatan dan pangkat.
Tapi juga cara pikir yang bikin perempuan selalu harus minta izin buat jadi diri sendiri.
Dan sering kali, komentar-komentar nyinyir itu datang dari orang-orang yang nggak pernah jalan di high hill mereka atau mungkin pake bra.
Yang nggak tahu rasanya dituntut jadi kuat, tapi nggak pernah dikasih ruang.
Yang nggak tahu rasanya disuruh cantik, tapi dilarang punya suara.
Laki-laki Bukan Lawan
Saya laki-laki.
Dan jujur aja, saya juga pernah abai.
Pernah ngerasa paling ngerti, padahal cuma sok tahu.
Tapi ruang seperti ini—meja biliar, obrolan santai, ketawa lepas bikin saya belajar pelan-pelan.
Saya lihat sendiri gimana perempuan nggak butuh panggung.
Mereka butuh ruang.
Butuh dihargai bukan karena penampilannya, tapi karena cara berpikirnya.
Karena keberaniannya main dengan gaya sendiri.
Dan dari meja biliar, saya belajar satu hal penting:
Kesetaraan itu bukan debat panjang.
Kadang cukup dengan tahu kapan harus diam, dan kapan harus kasih giliran.
Kalau hari ini kamu lihat perempuan menang,
jangan buru-buru merasa kalah.
Mungkin dia cuma sedang bermain dengan baik.
Dan kita?
Mungkin kita baru saja diajak belajar cara main yang benar.
@Ardi_rey04
Komentar
Posting Komentar