Langsung ke konten utama

SENYUM YANG DIAM, KATA YANG BERSEMBUNYI

"Senyum yang Diam, Kata yang Bersembunyi"


Kadang, yang paling menyakitkan bukanlah perdebatan yang panas, tapi kesepakatan yang palsu. Senyum yang tidak jujur, anggukan yang hanya demi kenyamanan, dan kritik yang tidak pernah hadir di ruang diskusi, tapi tumbuh liar di ruang gosip.

Saya pernah mengalaminya. Di sebuah ruang otonom yang katanya rumah bagi pemikiran kritis, saya mengemukakan pendapat tentang bagaimana feodalisme yang masih berakar dalam masyarakat Indonesia membuat kita lebih suka bersikap "baik" di depan umum, daripada menyatakan perbedaan secara terang-terangan. Kita lebih takut tidak sopan ketimbang tidak jujur. Lebih memilih mencibir di belakang ketimbang berargumen di depan.

Ironisnya, saat saya bicara soal itu, justru saya jadi bukti hidup dari apa yang saya katakan.

Seorang teman sebut saja Yono yang duduk di lingkaran yang sama, hanya mengangguk, seolah setuju. Tapi kemudian saya tahu dari teman lain, bahwa anggukan itu bukan persetujuan, melainkan topeng. Di belakang, pendapat saya dicibir, pribadi saya dibicarakan.

Saya tidak marah karena tidak disetujui. Saya kecewa karena kehilangan kejujuran.

Soalnya begini, saya selalu percaya bahwa ruang diskusi seharusnya jadi tempat paling aman untuk berbeda. Tempat orang bisa bersilang pendapat tanpa saling menghakimi. Tapi nyatanya, keberanian untuk berbeda di depan umum itu masih jadi hal yang langka bahkan di antara orang-orang yang merasa dirinya "kritis".
Saya tidak sedang menuntut semua orang setuju dengan saya. Justru saya ingin ditantang, diajak berdiskusi, disodori sudut pandang baru. Bukan karena saya merasa paling tahu, tapi karena saya percaya: ide akan tumbuh kalau disiram dengan perbedaan, bukan disembunyikan di balik diam dan basa-basi.

Tapi Yono, seperti banyak orang lain yang saya temui di ruang-ruang ‘kritis’, memilih jalan yang lebih nyaman: pura-pura setuju, lalu menggunjing di belakang. Mungkin karena perbedaan terasa terlalu mengancam, atau mungkin karena ia pikir ketidaksukaan lebih pantas disimpan rapi di pojok obrolan, bukan dibawa ke tengah forum.

Dan saya jadi berpikir—mungkin benar, kita ini masih belum selesai dengan warisan feodalisme. Bukan cuma dalam struktur kekuasaan, tapi dalam cara kita bersikap. Kita diajarkan untuk manut, untuk jaga muka, untuk "jangan terlalu keras ngomongnya", atau "jangan bikin suasana gak enak". Kita lebih takut dianggap kasar daripada dianggap tidak jujur. Kita lebih takut pada gesekan daripada pada kebekuan.

Padahal, kalau kita benar-benar mau berpikir bebas dan merdeka, kita harus mulai belajar untuk tidak selalu manis di depan. Kita perlu ruang di mana ketidaksetujuan itu bukan serangan, tapi bagian dari proses berpikir. Kita perlu teman diskusi yang berani bilang, “Maaf, gue gak setuju,” tanpa perlu jadi musuh, apalagi jadi penjilat yang memelihara kebencian dalam diam.

Dalam bingkai Marxis, ini adalah bentuk hegemonik dari kekuasaan: ketika nilai-nilai dominan (seperti sopan santun berlebihan, kenyamanan kolektif, atau ketakutan terhadap konflik) diterima sebagai ‘kebijaksanaan umum’, padahal hanya cara halus untuk menyingkirkan kritik dan mempertahankan status quo.

Bahkan dalam lingkaran-lingkaran yang mengklaim dirinya “bebas” atau “otonom”, logika ini masih bekerja. Ada hierarki yang tak terlihat. Ada kecenderungan untuk mengamini suara yang paling nyaman, dan mencibir suara yang terlalu tajam. Ada kompromi yang dibungkus solidaritas palsu. Ini bukan perlawanan—ini hanya represi dalam format baru.

Saya teringat kutipan Tan Malaka yang pernah saya baca dalam suasana hati yang sama:
"Kemerdekaan hanya diberikan kepada mereka yang memperjuangkannya, bukan kepada mereka yang hanya memohon dengan air mata."

Kita tidak akan bisa meraih kejujuran, keberanian, atau ruang yang benar-benar setara jika kita hanya berharap orang lain berubah, sementara kita sendiri memilih diam. Karena diam tidak selalu bijak. Kadang, diam adalah bentuk penundukan.

Saya menulis ini bukan karena dendam. Saya hanya lelah melihat ruang yang katanya “berpikir bebas”, tapi nyatanya penuh topeng dan ketakutan. Saya ingin ruang yang lebih jujur. Di mana perbedaan bukan hal yang harus disembunyikan. Di mana “tidak setuju” bukan berarti tidak sopan. Dan di mana kritik tidak harus berubah jadi bisik-bisik di belakang.

Kalau kamu tidak setuju dengan saya, tolong bilang di depan. Karena lebih baik kita debat semalaman daripada saling senyum palsu seumur hidup.

Saya hanya sudah terlalu lama menyaksikan kebohongan tumbuh dari keheningan.
Dan saya tidak ingin jadi bagian dari itu lagi.

Tapi tentu, menolak jadi bagian bukan berarti saya otomatis lebih baik dari mereka. Saya juga pernah—dan mungkin akan—terjebak dalam keraguan yang sama: menahan kritik demi menjaga relasi, tersenyum padahal dalam hati resah, atau diam karena takut kehilangan tempat. Saya tidak kebal. Tapi saya ingin melawan itu, sedikit demi sedikit. Karena kalau bukan kita yang memulai, siapa?

Kadang saya juga merasa sendiri. Karena jujur, keberanian untuk berbeda seringkali terasa seperti hukuman. Tapi mungkin, memang begitulah rasanya menjadi orang yang terus bertanya di tengah ruangan yang ingin segera selesai bicara. Dan ya, mungkin tidak semua ruang layak kita perjuangkan. Tidak semua pertemanan layak dipertahankan kalau yang dijaga cuma permukaannya.

Saya pelan-pelan belajar: bahwa keberanian bukan soal berteriak paling keras, tapi soal tetap berkata jujur meski ditinggal satu per satu.
Bahwa integritas bukan soal menang argumen, tapi soal nggak menggadaikan prinsip hanya demi diterima.

Dan di tengah kebingungan ini, saya teringat kata Errico Malatesta:
"Obedience is cowardice, and servility is a crime."
Kepatuhan adalah kepengecutan, dan kerendahan diri adalah kejahatan.

Kalimat itu membekas. Karena banyak dari kita patuh—bukan karena setuju, tapi karena takut sendirian. Kita melayani suasana, bukan karena cinta damai, tapi karena takut dibilang "terlalu".


Tapi kebebasan itu nggak lahir dari rasa sungkan. Dan saya percaya juga, seperti yang ditulis Mikhail Bakunin:
"The freedom of others extends mine to infinity."
Kebebasan orang lain justru memperluas kebebasan saya hingga tak terbatas.

Makanya, ruang yang sehat bukan yang semuanya sepakat, tapi yang bisa merayakan perbedaan tanpa membungkam. Dan saya mau terus cari ruang seperti itu, atau kalau nggak ketemu, ya bikin sendiri. Meski kecil, meski cuma berdua, asal jujur.

Kalau hari ini saya menulis ini, bukan karena saya sudah sepenuhnya berani, tapi karena saya ingin mengingatkan diri sendiri:
Bahwa jujur itu nggak nyaman, tapi tetap perlu.
Bahwa diam itu bukan selalu bijak—kadang itu bentuk pengkhianatan yang paling halus.
Dan bahwa ruang yang tidak memberi tempat untuk perbedaan, bukanlah ruang yang layak disebut “bebas”.

Jadi, kalau kamu pernah merasa aneh, terlalu tajam, terlalu keras kepala—mungkin kamu sedang berada di tempat yang salah. Atau justru sedang jadi orang yang diperlukan, untuk membongkar kenyamanan palsu itu.

Dan kalau kamu lelah, tak apa. Kita bisa istirahat. Tapi jangan hilang.
Karena suara jujur, sekeras atau sesederhana apapun, selalu punya tempat—meski bukan di ruang mereka, tapi di dunia yang sedang kita bangun pelan-pelan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca Karakteristik Seseorang dari Sebuah Foto

Membaca Karakteristik Seseorang dari Sebuah Foto Karakter manusia adalah salah satu aspek paling kompleks dari keberadaan kita. Karakter dibentuk oleh berbagai faktor termasuk genetik, lingkungan, pengalaman hidup, dan interaksi sosial. Mempelajari karakter seseorang bisa menjadi tantangan, namun sering kali kita bisa mendapatkan wawasan tentang karakter seseorang melalui observasi visual, seperti dari sebuah foto. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana membaca karakteristik seseorang dari sebuah foto dan apa yang bisa kita pelajari dari ekspresi, postur, dan elemen-elemen lain dalam gambar. Pemahaman Dasar tentang Karakter Manusia Karakter manusia mencakup serangkaian sifat yang menentukan bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Sifat-sifat ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori, seperti: Sifat Ekstrovert vs Introvert. Sejauh mana seseorang mendapat energi dari interaksi sosial atau dari waktu sendiri. Sifat Tertutup vs Terbuka.  Kecenderungan untuk ...

Bimbingan Organisasi RAPI

Bimbingan Organisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh RAPI dalam upaya pembinaan dan pengembangan organisasi untuk penerimaan anggota baru, yang merupakan syarat utama untuk menjadi Anggota RAPI. Pengurus RAPI Provinsi bertanggung jawab atas kegiatan ini dan mengeluarkan Sertifikat Bimbingan Organisasi. Pengurus RAPI Kabupaten bertindak sebagai pelaksana kegiatan Bimbingan Organisasi. Sertifikat Bimbingan Organisasi diberikan kepada peserta yang mengikuti kegiatan ini, ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris RAPI Provinsi, dan sertifikat ini bukan satu satunya yang merupakan bukti keanggotaan RAPI. Maksud dan Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Bimbingan Organisasi adalah memberikan pembinaan kepada Calon Anggota Baru dan Anggota RAPI yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut, agar mereka dapat lebih memahami Kegiatan, Tata Cara, dan Peraturan berkomunikasi sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART RAPI). Hal ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada ...

Meminta Perhatian dengan Menyindir Orang Lain adalah Otoriter Halus

Lo pernah nggak, niatnya mau peduli sama orang lain, eh malah jadi males gara-gara ada yang nyindir-nyindir lewat status? Gue baru ngalamin, dan jujur… bikin mikir juga sih. Gue termasuk orang yang kalau ngomong ya jujur aja, nggak suka basa-basi. Kalau lagi kesusahan pun, gue lebih milih jalanin sendiri tanpa harus bikin status supaya orang lain notice. Misalnya gue pernah ngalamin kondisi paling sulit: nggak ada uang buat makan sehari-hari atau bahkan kesusahan cari tumpangan buat jalan. Karena gue hidup mandiri dan statusnya buruh, ya mau nggak mau gue harus ngandalin gaji bulanan buat bertahan. Tapi meski begitu, gue jarang bahkan hampir nggak pernah ngumbar kesulitan itu ke media sosial. Kalau pun gue bikin status atau upload sesuatu, biasanya bukan tentang susahnya hidup, tapi lebih ke kerja keras atau usaha gue. Buat gue, itu semacam pengingat dan cambuk motivasi. Gue rasa, nggak ada gunanya bikin orang lain tahu penderitaan l...