Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Gustavo Petro di Sidang PBB: Macan Latin dan Cermin Buram untuk Indonesia

Sidang Majelis Umum PBB 2025 seolah jadi panggung yang biasa diwarnai pidato diplomatis penuh basa-basi. Para pemimpin dunia naik ke podium dengan wajah tenang, melempar jargon perdamaian, melukis janji-janji manis, lalu turun lagi untuk melanjutkan transaksi politik dan ekonomi yang justru memperpanjang penderitaan rakyat. Seringkali, panggung itu hanyalah etalase kepalsuan global. Namun, kali ini ada satu suara yang benar-benar berbeda. Gustavo Petro, Presiden Kolombia, tampil bukan sebagai diplomat yang sekadar menghibur kamera, melainkan sebagai macan Latin yang mengaum di hadapan elit dunia. Ia menelanjangi kerakusan negara-negara industri, mengutuk kapitalisme hijau yang hanya kedok untuk melanjutkan eksploitasi, dan menyorot hipokrisi negara-negara kaya yang pura-pura peduli perdamaian. Petro tidak datang untuk menjual citra. Ia datang dengan keberanian yang jujur: suara Selatan Global yang menolak tunduk. Che Guevara pernah mengatakan bahwa kemurkaan terhadap ketida...

Meminta Perhatian dengan Menyindir Orang Lain adalah Otoriter Halus

Lo pernah nggak, niatnya mau peduli sama orang lain, eh malah jadi males gara-gara ada yang nyindir-nyindir lewat status? Gue baru ngalamin, dan jujur… bikin mikir juga sih. Gue termasuk orang yang kalau ngomong ya jujur aja, nggak suka basa-basi. Kalau lagi kesusahan pun, gue lebih milih jalanin sendiri tanpa harus bikin status supaya orang lain notice. Misalnya gue pernah ngalamin kondisi paling sulit: nggak ada uang buat makan sehari-hari atau bahkan kesusahan cari tumpangan buat jalan. Karena gue hidup mandiri dan statusnya buruh, ya mau nggak mau gue harus ngandalin gaji bulanan buat bertahan. Tapi meski begitu, gue jarang bahkan hampir nggak pernah ngumbar kesulitan itu ke media sosial. Kalau pun gue bikin status atau upload sesuatu, biasanya bukan tentang susahnya hidup, tapi lebih ke kerja keras atau usaha gue. Buat gue, itu semacam pengingat dan cambuk motivasi. Gue rasa, nggak ada gunanya bikin orang lain tahu penderitaan l...

SENYUM YANG DIAM, KATA YANG BERSEMBUNYI

"Senyum yang Diam, Kata yang Bersembunyi" Kadang, yang paling menyakitkan bukanlah perdebatan yang panas, tapi kesepakatan yang palsu. Senyum yang tidak jujur, anggukan yang hanya demi kenyamanan, dan kritik yang tidak pernah hadir di ruang diskusi, tapi tumbuh liar di ruang gosip.

BILIAR DAN PEREMPUAN

ESSAY Di Meja yang Sama: Tentang Bola, Perempuan, dan Rasa Hormat Saya juga nggak tahu sejak kapan pertama kali pernah main biliar bareng perempuan. Awalnya cuma ajakan santai. Lama-lama jadi semacam ruang pelarian. Mungkin karena penat. Mungkin karena butuh waktu buat diri sendiri. Atau mungkin karena di meja hijau atau merah atau juga biru itu, hidup terasa lebih masuk akal. Kami datang dari mana-mana. Ada yang habis kerja kantor, ada yang freelance, ada yang... ya begitulah, kerja tapi nggak jelas kantornya di mana. Tapi begitu stik mulai dipegang, semua lepas. Nggak ada urusan jabatan. Nggak ada soal siapa lebih tua. Yang dihargai cuma satu: siapa yang bisa baca arah dan tahu kapan harus tenang. Laki-laki dan perempuan main bareng, belajar bareng, bahkan saling ngalahin—bukan dalam hal ego, tapi dalam strategi dan feeling. Dan dari situ setelah sekian lama saya pelan-pelan sadar: Perempuan itu nggak pernah kekurangan ruang. Yang sering kurang, justru laki-laki yang terk...